Seperti kita ketahui
bersama, Indonesia merupakan negara yang kaya akan wisata pantai. Pantai-pantai
di Indonesia terkenal indah bahkan sampai ke manca negara. Salah satu pantai
indah di Indonesia khususnya di Pulau Jawa adalah Pantai Timang yang berada di
Tepus, GunungKidul.
berani naik?
Namun ada hal menarik
yang membedakan Timang dengan pantai lainnya, yaitu adanya gondola tradisional di
tempat ini, yang mana jalur tali gondolanya berada di atas batuan karang dan
ombak besar. Hayo, berani naik nggak? Gondola ini belum menyediakan asuransi
bagi para penumpang gondola lho. Tenaga yang digunakan untuk menjalankan
gondola adalah tenaga manusia dan bukannya menggunakan tenaga mesin.
Biaya
Naik Gondola
Untuk bisa naik gondola
ini, kita harus membayar 150 ribu. Lumayan mahal sih, tapi kan narik talinya
juga membutuhkan banyak tenaga manusia, kalau mau murah, tarik saja talinya
sendiri. Hihihi.
para penarik gondola
Gondola tradisional ini
berjalan di atas batuan karang yang disertai ombak besar (seperti kebanyakan
pantai di selatan Pulau Jawa yang berombak besar, ombak disinipun besar-besar).
Tali yang digunakan sebagai jalur gondola meski terlihat kuat tapi sangat
sederhana. Cara menjalankannya dengan ditarik oleh tenaga manusia sekitar lima
sampai enam orang (mungkin tergantung berat badan penumpang gondola kali ya).
Jangan membayangkan
kereta gantung yang di Ancol itu yaa. Kereta gantung disini sangat sederhana
sekali, jauh berbeda dengan kereta gantung yang ada di Ancol dan TMII itu.
Rute
ke Pantai Timang
Dari kota Jogja,
berkendaralah ke kawasan pantai Baron, Kukup, Krakal, yang berada di Kabupaten
GunungKidul. Ketika melewati gerbang masuk objek wisata kawasan pantai
GunungKidul ini, kita akan ditarik biaya sebesar Rp9.500,00 per orang.
Urutan pantai di GunungKidul
ini adalah sebagai berikut. Begitu memasuki gerbang, pantai pertama yang akan
kita temui adalah Kukup. Selanjutnya ada Sepanjang, Watu Kodok, Drini, Krakal,
dan Indrayanti. Nah, bagi yang ingin menginap di kawasan pantai GunungKidul
ini, ada banyak penginapan nih di pinggir pantai Indrayanti.
Setelah melewati
Indrayanti, kita masih akan melewati Pok Tunggal dan Pantai Siung sebelum
akhirnya sampai di Pantai Timang. Untuk Pantai Timang, papan petunjuk jalannya
memang kecil dan tidak terlihat, tidak seperti papan petunjuk ke Kukup, Krakal,
dan Indrayanti yang tulisannya besar dan terlihat jelas.
Naik
Ojek Rasa Kuda
Untuk dapat sampai ke
Pantai Timang, jalan yang harus dilalui belumlah semulus paha para model. Jalanan
‘ndeso’, tanah becek dan berbatu, akan menemani perjalanan kita. 20 menit
sebelum sampai pantai, pengunjung yang membawa mobil biasanya akan disuruh
turun dan melanjutkan perjalanan menggunakan ojeg dengan ongkos 30 ribu untuk
dapat sampai ke Pantai Timang.
Pantat, kaki, dan
tanganku sampai pegal harus naik ojeg sepanjang jalan berbatu, menanjak dan
menurun, serta berkelok. Sepanjang perjalanan, tanganku sibuk mencari pegangan
supaya badanku tidak terlempar dari atas ojek yang jalannya ajrut-ajrutan ini
dikarenakan jalan yang dilewati berbatu-batu besar.
Ini naik ojek tapi kok
berasa naik kuda ya? Kudanya kuda liar pula. Tanganku sampai sakit saking
eratnya berpegangan di body motor. Kalau tukang ojeknya mirip Brad Pitt sih
enak, bisa pegangan erat ke si abang tukang ojek. Tau gini tadi motornya aja aku sewa trus aku naikin sendiri, daripada sakit pantat. Semoga akses jalan menuju
Pantai Timang segera diperbaiki.
Lihat nih video gondola yang sedang jalan di video di bawah ini yaa
Port Adelaide terletak
14 km di sebelah barat laut dari pusat kota Adelaide. Port Adelaide merupakan
pelabuhan penting bagi Adelaide. Lalu apa saja yang menarik disini? Kita bisa
naik cruise yang berlayar di sepanjang Port Adelaide River sampai ke ujung
utara Torrens Island. Selama berlayar, kita akan ditemani kumpulan dolphins
atau lumba-lumba yang berenang di samping cruise. Setidaknya itu yang kubaca di
iklan yang terdapat di tempat penjualan tiket dolphin explorer cruiser yang
beralamat di Queens Wharf, Commercial Road.
sambil nunggu kapal, bermain dulu bersama burung
Untuk bisa naik cruise
ini, kita harus membeli tiket seharga AUD 8 per orang nya. Selain bisa membeli
tiket secara online, kita bisa juga kok membeli tiket langsung di tempat, asal
belinya paling telat 20 menit sebelum kapal berlayar ya. Untuk yang mau membeli
tiket secara langsung, carilah loket tiket berbentuk van berwarna biru yang ada
di pinggir Port Adelaide ini.
tempat pembelian tiket
Untuk jadwal pelayaran,
biasanya sih kapal ini berlayar dua kali dalam sehari yaitu pagi dan siang, dan
biasanya lagi, hanya berlayar di hari Minggu dan hari libur, jadi kalau kamu
ingin naik kapal ini, cek dulu jadwal berlayarnya di dolphinexplorer.com.au ya,
biar tidak kecelek seperti aku, ketika sampai di Port Adelaide, ternyata kapalnya
baru akan berlayar tiga jam lagi.
Untuk mengusir rasa
bosan ketika menunggu kapal berlayar, aku berkeliling di dalam pasar yang
berada di sebelah tempat penjualan tiket. Di dalam pasar ini ada banyak
souvenir khas Australia, berbagai macam buku, dan toko-toko penjual opal (opal
disini murah dan tidak bersertifikat, tapi menarik juga kok untuk dibikin
perhiasan).
Zita juga sempat membuat
face painting disini seharga AUD 4. Hanya dalam waktu kurang dari sepuluh
menit, seekor dolphin cantik sudah tergambar manis di pipinya.
Zita sedang dilukis pipinya
dan inilah hasilnya
Di pintu masuk pasar,
aku dan Zita sempat berfoto sama pengamen orang aborigin (penduduk awal
Australia sebelum orang-orang berkulit putih banyak berdatangan ke benua ini).
bersama pengamen orang aborigin dengan bendera mereka yg berwarna hitam dan merah dengan bulatan kuning di tengah
Akhirnya, dolphin
explorer pun berlayar. Cruise ini terdiri dari tiga lantai, dan aku memilih
duduk di lantai teratas yang beratapkan langit. Meskipun siang hari bolong dan
matahari bersinar terik, tapi udara di bulan Juli ini tetaplah dingin. Inilah
yang membuat kulitku tampak gosong sepulang dari Australia. Karena dinginnya
udara bulan Juli, aku jadi sering berjemur di siang hari untuk mencari sedikit
kehangatan, padahal matahari disini meskipun rasanya dingin tapi tetap
menghitamkan kulit.
kapal terdiri dari tiga lantai
Kembali ke atas kapal,
dengan antusias aku berdiri memandang perairan disekitarku, mencari keberadaan
para dolphin. Sudah lebih dari lima belas menit aku berdiri, tidak tampak
keberadaan dolphin dimana-mana. Akhirnya aku menyerah, dan kembali duduk sambil
menikmati chips dalam wadah ukuran jumbo seharga AUD 8 (semua makanan disini
ukurannya jumbo).
duduk di lantai teratas
Lagi asyik-asyiknya
mengunyah chips, tiba-tiba ada seseorang di bagian kiri kapal berteriak
“look!”. Aku menoleh dan melihat seorang bule wanita sedang mengacungkan
jarinya ke samping kiri kapal. Sekonyong-konyong para penumpang kapal berpindah
tempat ke sebelah kiri. Aku sampai takut kapal akan terbalik karena semua orang
berdiri di sebelah kiri. Ternyata ada sekumpulan dolphin yang sedang
berlompatan di atas air. Tapi jaraknya lumayan jauh dari kapal sehingga para
dolphin itu tidak terlihat dengan jelas.
dikeroyok burung
Sampai satu setengah jam
kemudian ketika kapal sudah berada di ujung utara Torrens Island, aku tidak
melihat dolphin lagi dimana-mana. Mungkin karena ini musim dingin jadi
dolphinnya pada ngumpet kali ya? Dalam perjalanan pulang, aku hanya sempat
melihat dolphin sebanyak dua kali, melompat tepat di depan tempat dudukku, dan
kemudian dia menghilang ke bawah air dan tidak muncul lagi.
Ketika kapal kembali
merapat ke dermaga, begitu turun dari kapal, aku disambut oleh anak-anak yang
banyak berderet di pinggir jalan sambil memainkan alat musik biola. Ternyata
mereka adalah pemusik jalanan. Kalau di Indonesia seperti pengamen cilik yang
membawa gitar kecil gitu deh. Bedanya, pengamen di Australia ini pakaiannya
rapi-rapi.
Malam itu, satu jam
sebelum tengah malam, aku, Zita dan si ayah berkendara di tengah kegelapan
menuju Dieng. Rute kami adalah sebagai berikut, dari tengah kota Magelang jam
sebelas malam melaju ke arah Secang, kemudian belok kiri lewat Temanggung, lalu
melintasi Kepil yang berada di tengah Sindoro dan Sumbing, setelah sampai
Kertek belok kanan, menyusuri jalan sampai ke Alun-alun Wonosobo.
Rencana awal sebenarnya
kami ingin lewat jalur yang lebih dekat, yaitu lewat Parakan belok kanan ke
arah Ngadirejo (aku sering lewat sini kalau naik Santoso lewat Weleri). Ketika
ketemu perempatan Ngadirejo – Jumo belok kiri melewati perkebunan teh Tambi,
sampai akhirnya ketemu jalan raya Dieng.
Zita di ketinggian 2295 mdpl, mengucapkan selamat pagi dari Negeri di Atas Awan
Tadinya aku ingin lewat
jalur alternatif ini karena selain lebih dekat 15 km, juga karena ini adalah
musim libur Natal dan libur sekolah jadi takutnya terjadi kemacetan di jalur
utama. Tapi setelah tanya sana sini ternyata jalur alternatif ini lumayan
ekstrim kelokan dan tanjakannya, serta lebar jalannya sempit sehingga kalau
berpas-pasan dengan mobil lain lumayan bahaya karena banyak jurang yang tidak
terlihat.
Kalau siang sih jalannya
kelihatan tetapi kalau malam tidak terlihat, jalanan minim lampu penerangan,
jadi takutnya roda tergelincir ke jurang, atau mesin tidak kuat nanjak dan
tidak ada yang membantu karena jalur ini sepi akan rumah penduduk. Akhirnya
kami memutuskan pulangnya saja lewat jalur ini karena rencana kami pulang pada
siang hari, jadi jalannya bisa terlihat jelas.
Dan ternyata ketika pulang
lewat jalur alternatif Tambi ini, pemandangannya memang lebih indah dari jalur
utama, puncak Sindoro terlihat dekat dari sini, sepertinya hanya butuh waktu
beberapa jam trekking untuk bisa sampai puncak Sindoro. Sayangnya jalur ini
tidak dilewati kendaraan umum, sehingga para pendaki yang ingin ke puncak
Sindoro lebih banyak naik lewat Kepil yang banyak dilalui kendaraan umum (jadi
kangen masa SMA ketika aku sering naik ke puncak Sindoro Sumbing).
sunrise dari Sikunir
Ketika pulang siang hari
lewat jalur yang sepi ini, kami berpas-pasan dengan beberapa kendaraan yang
tidak kuat menanjak, mogok di jalan, dan sebagian besar kendaraan yang berpas-pasan
dengan kami berplat nomer B, mungkin mereka melewati jalur ini karena mengikuti
panduan GPS (kalau mencari jalur terdekat memang oleh GPS ditunjukkan lewat
jalur Tambi ini yang lebih ngirit 15 km).
Kembali
ke Jalur Utama
Kembali ke jalur utama,
yaitu jalur keberangkatan kami. Tiba di alun-alun Wonosobo, papan petunjuk
jalan ke arah Dieng sudah banyak bertebaran dan gampang ditemukan. Tidak begitu
jauh dari alun-alun Wonosobo, sampailah kami di pintu gerbang Kawasan Wisata
Dieng. Di pintu ini kami ditarik biaya Rp10.000,00 per orang. (Kalau lewat
jalur Tambi tidak akan melewati alun-alun Wonosobo dan gerbang utama ini).
Begitu memasuki kawasan
wisata Dieng, kami mengikuti papan petunjuk jalan ke arah Sikunir. Dieng
mempunyai banyak tempat wisata diantaranya kawasan lembah Dieng, kawasan
dataran tinggi Dieng, Dieng Plateau Theater, gardu pandang Setieng, Tuk Bima
Lukar, Kawah Sikidang, Telaga Warna, dan sebagainya. Karena tujuan pertama kami
adalah menikmati sunrise dari puncak Sikunir, maka kesanalah kami memacu kendaraan.
Rute
ke Sikunir
Dari gerbang utama, tempat
pertama yang kami temui adalah jalur trekking ke puncak Prau yang berada di
sebelah kanan jalan. Treking ke puncak Prau ini lebih melelahkan daripada ke
puncak Sikunir, berkali-kali lipat lebih jauh dan lebih sulit medannya. Karena
ada si kecil Zita yang belum berpengalaman naik gunung, maka kami lebih memilih
menikmati sunrise dari puncak Sikunir.
Sembungan, desa tertinggi di Pulau Jawa
Ketika menemukan pertigaan
utama, kendaraan kami berbelok ke kiri, sedangkan untuk kendaraan umum (bus
ukuran tanggung yang banyak lewat sini) beloknya ke kanan. Jalan yang kami
lewati semakin menanjak dan udaranya semakin dingin. Pemandangan indah
terhampar di samping kanan kami, berupa kerlip lampu-lampu rumah yang terlihat
sangat jauh di bawah sana.
Setelah beberapa saat
berkendara, kami memasuki gerbang bertuliskan ‘Selamat Datang di Sembungan
Village, Desa Tertinggi di Pulau Jawa’. Begitu melewati gerbang ini, jalan
aspal semakin menyempit. Banyak tempat menginap berderet di kanan dan kiri
jalan, dan para penginap memarkir mobil mereka di pinggir jalan membuat jalan
yang sudah sempit menjadi semakin sempit.
tuh liat, kalau ada dua mobil susah kan?
“Dulu jalannya lumayan
lebar, sekarang jalan menjadi sempit karena banyaknya tempat menginap yang
berdiri di sepanjang jalan, membuat jalan tambah sempit” cerita temanku yang
beberapa tahun lalu pernah kesini.
Begitu kumpulan tempat
menginap kami lewati, jalan aspal yang kami lalui semakin menyempit lagi,
sepertinya hanya muat untuk satu mobil saja. Dan akhirnya, sampailah kami di
tempat parkir Sikunir yang luas, yang hanya berisi enam mobil saja pada jam dua
dini hari itu.
“Jalannya sempit amat mas,
muat nggak untuk dua mobil?” tanyaku pada si mas tukang parkir. “Disini pakai
sistem buka tutup mbak, sekarang yang dibuka untuk jalur ke atas dulu, nanti
kalau sunrise-nya sudah lewat, baru jalan ke bawah dibuka dan untuk yang keatas
ditutup dulu” jawab si mas memberi penjelasan sambil menarik ongkos parkir
sebesar Rp10.000,00 per mobil. Karena masih jam dua dini hari, akhirnya kami
tidur dahulu di dalam mobil.
sudah siang, mobil yang parkir sudah banyak berkurang
Kami terbangun dua jam
kemudian yaitu ketika mendengar suara adzan Subuh. Ketika keluar dari mobil,
tempat parkir luas yang tadinya baru berisi enam mobil saja, kini sudah ada
seratusan mobil dan duapuluhan elf terparkir disini, dan mobil-mobil lain masih
terus berdatangan membanjiri tempat parkir yang sudah penuh sesak ini.
Jalur
Trekking ke Puncak Sikunir
Untuk dapat naik ke Puncak
Sikunir, kami ditarik biaya lagi sebesar Rp10.000,00 per orang. Kalau ditotal
sepertinya habis banyak nih karena di setiap titik wisata ditarik ongkos per
orang dan biaya parkir mobil. Belum lagi uang yang kami habiskan untuk ke
toilet, karena dinginnya udara disini, setiap satu jam kami harus masuk toilet
dengan biaya 2 ribu per orang. Waduh, untuk buang air saja sudah habis banyak
duit tuh.
jalan landai sebelum naik
Untuk yang mau naik ke
Puncak Sikunir, jangan lupa bawa senter ya, karena jalur trekkingnya gelap,
tidak ada lampu penerangan jalan. Bagi yang lupa bawa senter, di sepanjang
jalan trekking ada kok yang jualan senter. Selain penjaja senter, di sepanjang
jalan ini dipenuhi oleh penjaja makanan dan minuman untuk penghangat tubuh,
serta para penjual jaket, syal, topi, dan sarung tangan.
Pada awal jalur pendakian,
jalannya masih landai, rapi, ramai oleh penjual, dan terang oleh lampu jalanan.
Tetapi begitu tangga batu pertama terlihat, jalanan mulai gelap dan sepi oleh
penjual.
tangga naik bagian bawah masih rapi, semakin keatas semakin tdk beraturan bentuknya
Jalur trekking terbuat
dari tangga batu yang tidak beraturan ukurannya, sebelah kanan tebing, dan
sebelah kiri jurang yang gelap. Aku dan Zita sempat terpisah sama si ayah di
tengah jalan, padahal si ayah lah yang membawa senter. Akhirnya aku
mengandalkan bantuan cahaya dari pendaki lain yang membawa senter. Ketika Zita
lelah, kami duduk beristirahat di tengah kegelapan, menantikan pendaki lain di
belakang kami yang membawa senter. Begitu ada pendaki lain yang lewat membawa
senter, kami ikut jalan lagi. Begitu seterusnya sampai satu jam lebih kami
berjalan naik dan naik, akhirnya sampailah kami pada saat yang berbahagia,
yaitu di puncak Sikunir.
Sikunir di hari libur, ruamenee poll
Kami menantikan
detik-detik pertama sinar mentari mulai muncul di tengah dinginnya udara. Dan
ketika puncak ini mulai dikelilingi cahaya, barulah terlihat betapa penuh
sesaknya tempat ini, sampai-sampai mau jalan saja susah, apalagi foto selfie
cantik di atas awan. Hmm, sebaiknya jangan kesini di musim libur kalau ingin
foto selfie eksklusif.