Selasa, 10 Januari 2017

Sikunir Dieng, Negeri di Atas Awan



Malam itu, satu jam sebelum tengah malam, aku, Zita dan si ayah berkendara di tengah kegelapan menuju Dieng. Rute kami adalah sebagai berikut, dari tengah kota Magelang jam sebelas malam melaju ke arah Secang, kemudian belok kiri lewat Temanggung, lalu melintasi Kepil yang berada di tengah Sindoro dan Sumbing, setelah sampai Kertek belok kanan, menyusuri jalan sampai ke Alun-alun Wonosobo.

Rencana awal sebenarnya kami ingin lewat jalur yang lebih dekat, yaitu lewat Parakan belok kanan ke arah Ngadirejo (aku sering lewat sini kalau naik Santoso lewat Weleri). Ketika ketemu perempatan Ngadirejo – Jumo belok kiri melewati perkebunan teh Tambi, sampai akhirnya ketemu jalan raya Dieng.
 
Zita di ketinggian 2295 mdpl, mengucapkan selamat pagi dari Negeri di Atas Awan
Tadinya aku ingin lewat jalur alternatif ini karena selain lebih dekat 15 km, juga karena ini adalah musim libur Natal dan libur sekolah jadi takutnya terjadi kemacetan di jalur utama. Tapi setelah tanya sana sini ternyata jalur alternatif ini lumayan ekstrim kelokan dan tanjakannya, serta lebar jalannya sempit sehingga kalau berpas-pasan dengan mobil lain lumayan bahaya karena banyak jurang yang tidak terlihat.


Kalau siang sih jalannya kelihatan tetapi kalau malam tidak terlihat, jalanan minim lampu penerangan, jadi takutnya roda tergelincir ke jurang, atau mesin tidak kuat nanjak dan tidak ada yang membantu karena jalur ini sepi akan rumah penduduk. Akhirnya kami memutuskan pulangnya saja lewat jalur ini karena rencana kami pulang pada siang hari, jadi jalannya bisa terlihat jelas.

Dan ternyata ketika pulang lewat jalur alternatif Tambi ini, pemandangannya memang lebih indah dari jalur utama, puncak Sindoro terlihat dekat dari sini, sepertinya hanya butuh waktu beberapa jam trekking untuk bisa sampai puncak Sindoro. Sayangnya jalur ini tidak dilewati kendaraan umum, sehingga para pendaki yang ingin ke puncak Sindoro lebih banyak naik lewat Kepil yang banyak dilalui kendaraan umum (jadi kangen masa SMA ketika aku sering naik ke puncak Sindoro Sumbing).

 
sunrise dari Sikunir
Ketika pulang siang hari lewat jalur yang sepi ini, kami berpas-pasan dengan beberapa kendaraan yang tidak kuat menanjak, mogok di jalan, dan sebagian besar kendaraan yang berpas-pasan dengan kami berplat nomer B, mungkin mereka melewati jalur ini karena mengikuti panduan GPS (kalau mencari jalur terdekat memang oleh GPS ditunjukkan lewat jalur Tambi ini yang lebih ngirit 15 km).

Kembali ke Jalur Utama
Kembali ke jalur utama, yaitu jalur keberangkatan kami. Tiba di alun-alun Wonosobo, papan petunjuk jalan ke arah Dieng sudah banyak bertebaran dan gampang ditemukan. Tidak begitu jauh dari alun-alun Wonosobo, sampailah kami di pintu gerbang Kawasan Wisata Dieng. Di pintu ini kami ditarik biaya Rp10.000,00 per orang. (Kalau lewat jalur Tambi tidak akan melewati alun-alun Wonosobo dan gerbang utama ini).

Begitu memasuki kawasan wisata Dieng, kami mengikuti papan petunjuk jalan ke arah Sikunir. Dieng mempunyai banyak tempat wisata diantaranya kawasan lembah Dieng, kawasan dataran tinggi Dieng, Dieng Plateau Theater, gardu pandang Setieng, Tuk Bima Lukar, Kawah Sikidang, Telaga Warna, dan sebagainya. Karena tujuan pertama kami adalah menikmati sunrise dari puncak Sikunir, maka kesanalah kami memacu kendaraan.

Rute ke Sikunir
Dari gerbang utama, tempat pertama yang kami temui adalah jalur trekking ke puncak Prau yang berada di sebelah kanan jalan. Treking ke puncak Prau ini lebih melelahkan daripada ke puncak Sikunir, berkali-kali lipat lebih jauh dan lebih sulit medannya. Karena ada si kecil Zita yang belum berpengalaman naik gunung, maka kami lebih memilih menikmati sunrise dari puncak Sikunir.
 
Sembungan, desa tertinggi di Pulau Jawa
Ketika menemukan pertigaan utama, kendaraan kami berbelok ke kiri, sedangkan untuk kendaraan umum (bus ukuran tanggung yang banyak lewat sini) beloknya ke kanan. Jalan yang kami lewati semakin menanjak dan udaranya semakin dingin. Pemandangan indah terhampar di samping kanan kami, berupa kerlip lampu-lampu rumah yang terlihat sangat jauh di bawah sana.

Setelah beberapa saat berkendara, kami memasuki gerbang bertuliskan ‘Selamat Datang di Sembungan Village, Desa Tertinggi di Pulau Jawa’. Begitu melewati gerbang ini, jalan aspal semakin menyempit. Banyak tempat menginap berderet di kanan dan kiri jalan, dan para penginap memarkir mobil mereka di pinggir jalan membuat jalan yang sudah sempit menjadi semakin sempit.
 
tuh liat, kalau ada dua mobil susah kan?
“Dulu jalannya lumayan lebar, sekarang jalan menjadi sempit karena banyaknya tempat menginap yang berdiri di sepanjang jalan, membuat jalan tambah sempit” cerita temanku yang beberapa tahun lalu pernah kesini.

Begitu kumpulan tempat menginap kami lewati, jalan aspal yang kami lalui semakin menyempit lagi, sepertinya hanya muat untuk satu mobil saja. Dan akhirnya, sampailah kami di tempat parkir Sikunir yang luas, yang hanya berisi enam mobil saja pada jam dua dini hari itu.

“Jalannya sempit amat mas, muat nggak untuk dua mobil?” tanyaku pada si mas tukang parkir. “Disini pakai sistem buka tutup mbak, sekarang yang dibuka untuk jalur ke atas dulu, nanti kalau sunrise-nya sudah lewat, baru jalan ke bawah dibuka dan untuk yang keatas ditutup dulu” jawab si mas memberi penjelasan sambil menarik ongkos parkir sebesar Rp10.000,00 per mobil. Karena masih jam dua dini hari, akhirnya kami tidur dahulu di dalam mobil.
 
sudah siang, mobil yang parkir sudah banyak berkurang
Kami terbangun dua jam kemudian yaitu ketika mendengar suara adzan Subuh. Ketika keluar dari mobil, tempat parkir luas yang tadinya baru berisi enam mobil saja, kini sudah ada seratusan mobil dan duapuluhan elf terparkir disini, dan mobil-mobil lain masih terus berdatangan membanjiri tempat parkir yang sudah penuh sesak ini.

Jalur Trekking ke Puncak Sikunir
Untuk dapat naik ke Puncak Sikunir, kami ditarik biaya lagi sebesar Rp10.000,00 per orang. Kalau ditotal sepertinya habis banyak nih karena di setiap titik wisata ditarik ongkos per orang dan biaya parkir mobil. Belum lagi uang yang kami habiskan untuk ke toilet, karena dinginnya udara disini, setiap satu jam kami harus masuk toilet dengan biaya 2 ribu per orang. Waduh, untuk buang air saja sudah habis banyak duit tuh.
 
jalan landai sebelum naik
Untuk yang mau naik ke Puncak Sikunir, jangan lupa bawa senter ya, karena jalur trekkingnya gelap, tidak ada lampu penerangan jalan. Bagi yang lupa bawa senter, di sepanjang jalan trekking ada kok yang jualan senter. Selain penjaja senter, di sepanjang jalan ini dipenuhi oleh penjaja makanan dan minuman untuk penghangat tubuh, serta para penjual jaket, syal, topi, dan sarung tangan.

Pada awal jalur pendakian, jalannya masih landai, rapi, ramai oleh penjual, dan terang oleh lampu jalanan. Tetapi begitu tangga batu pertama terlihat, jalanan mulai gelap dan sepi oleh penjual.
 
tangga naik bagian bawah masih rapi, semakin keatas semakin tdk beraturan bentuknya
Jalur trekking terbuat dari tangga batu yang tidak beraturan ukurannya, sebelah kanan tebing, dan sebelah kiri jurang yang gelap. Aku dan Zita sempat terpisah sama si ayah di tengah jalan, padahal si ayah lah yang membawa senter. Akhirnya aku mengandalkan bantuan cahaya dari pendaki lain yang membawa senter. Ketika Zita lelah, kami duduk beristirahat di tengah kegelapan, menantikan pendaki lain di belakang kami yang membawa senter. Begitu ada pendaki lain yang lewat membawa senter, kami ikut jalan lagi. Begitu seterusnya sampai satu jam lebih kami berjalan naik dan naik, akhirnya sampailah kami pada saat yang berbahagia, yaitu di puncak Sikunir.
 
Sikunir di hari libur, ruamenee poll
Kami menantikan detik-detik pertama sinar mentari mulai muncul di tengah dinginnya udara. Dan ketika puncak ini mulai dikelilingi cahaya, barulah terlihat betapa penuh sesaknya tempat ini, sampai-sampai mau jalan saja susah, apalagi foto selfie cantik di atas awan. Hmm, sebaiknya jangan kesini di musim libur kalau ingin foto selfie eksklusif.

Baca juga :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar