Suatu hari, di dalam Taksaka Malam yang sedang berlari, Zita kecil berdiri sambil makan roti, di antara penumpang yang terlelap dalam mimpi. Hihihihi. Di usianya yang ke satu tahun, untuk pertama kalinya Zita menempuh perjalanan menuju Jakarta, ketempat ayahandanya berada. Sama seperti anak lainnya yang baru bisa berjalan, Zita kecil tidak henti-hentinya mengajak berjalan, dari satu gerbong menuju gerbong lainnya dalam rangkaian kereta yang super panjang. Semua orang yang ditemui disapanya dengan bahasa bayi. “hab bu bih bla wau” katanya nggak jelas ngomong apa kepada seorang nenek yang langsung mencubit pipi Zita dengan gemas. Sungguh sangat merepotkan sekali perjalanan malam itu. Oleh karenanya, kita tinggalkan saja Taksaka Malam yang masih berlari kencang, menuju sebuah tempat di jantung ibukota.
Berdiri tegak tak tergoyahkan
Monumen
Nasional atau yang lebih dikenal dengan sebutan Monas. Bangunan setinggi 137 m
itu mulai dibangun pada tahun 1961 oleh arsitek bernama Frederich Silaban dan
R.M. Soedarsono. Puncak Monas dimahkotai oleh lidah api dilapisi lembaran emas
yang melambangkan semangat perjuangan yang menyala-nyala.
Kunjungan pertama Zita ke Jakarta hanya
berlangsung selama dua minggu waktu itu. Karena gigitan udara panas Jakarta
yang membuat kulit Zita merah-merah, akhirnya kami kembali ke sejuknya udara
Magelang yang masih banyak berkabut.
Kemudian
di usianya yang menginjak angka tiga tahun, Zita kembali ke Jakarta, kali ini
dalam waktu yang lama, karena aku dan Zita ikut tinggal bersama si ayah di
daerah Bogor. Sebulan dua kali, Zita rutin mengunjungi Monas di sore hari,
sambil menunggu ayah pulang kerja. Jam lima sore ketika kantornya ayah yang
terletak di daerah Tugu Tani tutup, si ayah berjalan ke arah Monas, menemui
Zita yang biasanya sedang asyik bermain bersama rusa yang banyak terdapat
disitu. Kami bertiga menikmati Monas yang berwarna-warni di malam hari,
berlatarkan bintang-gemintang yang berkerlip di luasnya langit, dalam dekapan
udara yang menggigit. Jam delapan malam biasanya kami baru beranjak, kembali
melangkah, ke arah Stasiun Gambir untuk kemudian naik KRL menuju Bogor.
Selama tinggal di Bogor, setiap dua
bulan sekali aku dan Zita pulang ke Magelang. Sejak itulah aku mulai menyiapkan
‘dua tiket’ tiap kali bepergian.
![]() |
masjid di daerah Sentul |
![]() |
melihat rusa di halaman Istana Bogor |
Baca juga :
- Terowongan Bendungan Jatiluhur
- Sunrise di Bromo
- Wisata ke Bali
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus