Jam 7 pagi, aku sudah berada di
dalam sebuah mobil travel berkapasitas 20 orang. Sepasang kekasih di depanku,
asyik mengobrol dengan bahasa Perancis. Dua orang lelaki di sebelahku, saling
menyapa dalam bahasa Jerman. Dua pasang muda mudi di belakangku, berasal dari
Hongkong. Kemudian di tempat duduk paling depan, dua orang berkulit hitam yang
sepertinya orang Afrika, juga saling menyapa dengan ramah. Heboh sekali mobil
yang kunaiki ini, heboh dengan percakapan aneka macam bahasa.
Ya, aku sedang mengikuti acara
tour menyusuri Great Ocean Road, menumpang travel ‘Bunyip Tour’ yang berkantor
di Flinder St. Melbourne dengan paket wisata seharga AUD 125. Sebenarnya ada 2
paket wisata lain yang menarik perhatianku, yaitu ‘Philip Island’ (melihat
penguin di pantai) seharga AUD 115 dan ‘Grampians’. Tetapi apa daya, berhubung
uang saku pas-pasan, aku hanya mampu membayar satu paket wisata saja. (untuk
musim dingin, biasanya harga paket tur lebih murah dibanding ketika summer)
Great
Ocean Road merupakan
sebuah jalan yang memanjang di pesisir selatan Australia sepanjang 243 km dan
membentang antara Geelong dan Warnambool di Negara Bagian Victoria.
Hari masih gelap ketika mobil
kami mulai melaju ke arah barat, keluar dari kepungan gedung-gedung tinggi Kota
Melbourne. Meskipun waktu sudah menunjukkan pukul 7 pagi, matahari memang belum
menampakkan wujudnya. Di Australia, matahari baru bangun jam 8 pagi ketika
musim dingin.
Berteman dengan Dingin di AngleSea
Keluar dari Melbourne, kami
memasuki sebuah kota kecil bernama Geelong. Dari Geelong kami ke selatan, ke
arah laut. Tempat pemberhentian pertama kami adalah AngleSea. Disini kami
menghangatkan tubuh yang membeku kedinginan, dengan secangkir kopi panas dan biskuit
yang keras (semua biskuit di Australia kebanyakan keras dan tidak bisa
digigit).
Mulai dari AngleSea inilah, laut
yang maha luas membentang, dengan setia menemani perjalanan menyusuri Great
Ocean Road.
Gerbang Great Ocean Road yang Sederhana
Setelah 15 menit istirahat,
kendaraan kami kembali melaju menyusuri garis pantai. Tidak berapa lama
kemudian, kami memasuki gerbang bertuliskan Great Ocean Road. Gerbang ini
sangat sederhana bila disandingkan dengan nama besar Great Ocean Road. Dari
gerbang, kami kembali melewati kota kecil lainnya yaitu Lorne.
gerbang yang sederhana |
Menemukan Koala di Kennett River
Meninggalkan Lorne di belakang
kami, kami melaju ke arah Kennett River. Ditempat ini, kami kembali
beristirahat. “Banyak koala liar berkeliaran disini. Be careful. You will find
them on the trees. Goodluck” kata si tour guide yang berasal dari Belanda
tetapi sudah lama tinggal di Australia.
Koala? Kalau Kanguru liar dan
Possum aku sudah pernah melihat di Australia ini, tetapi kalo Koala, aku belum
pernah melihatnya. Dengan antusias aku berjalan semakin masuk ke dalam hutan,
sambil kepala tidak berhenti mendongak ke atas, ke rimbunnya dedaunan.
Sudah ratusan langkah aku
berjalan, puluhan pohon kulewati, tetapi tidak satu koala pun kutemui. “Maybe
you should climb the trees to find koala” kata seorang peserta tour yang juga
sibuk mencari koala sama sepertiku.
Masak sih aku harus manjat
pohon? Ketika aku masih menimbang ide memanjat pohon, tiba-tiba ada peserta
tour lain yang berteriak. “Look!” teriaknya sambil menunjuk pohon yang tinggi
menjulang di atas kepalanya. Sambil berlari tergesa, aku mendatangi pohon yang
ditunjuknya.
sssssttt, koala nya lagi bobok |
Setelah beberapa saat mencari,
akhirnya aku menemukannya. Seekor binatang berbulu abu-abu dan bertelinga
bundar, sedang memeluk batang pohon. Matanya terpejam dengan rapat. Beberapa
menit aku menanti, koala itu tidak juga membuka matanya. Panggilan tour guide
untuk melanjutkan perjalanan terdengar di kejauhan. Dengan kecewa aku kembali
berjalan ke arah kendaraan, meninggalkan koala yang tidak kunjung membuka
matanya. Dasar koala pemalas, kerjaannya tidur mulu.
peserta tour kembali ke kendaraan |
Naik, naik, ke Puncak Cape Otway Lightstation
Dari Kennett River, kami kembali
melaju melewati SugarLoaf dan Wongarra. Di sebuah pertigaan, kami berbelok ke
kiri, keluar dari jalur Great Ocean Road. Papan petunjuk jalan bertuliskan Cape
Otway Road terpasang di pinggir jalan. Banyak sapi berkeliaran di sepanjang
jalan ini, beberapa bahkan berdiri di tengah jalan, sehingga sopir harus turun
dari kendaraan untuk menghalau sapi-sapi ini.
Setelah melewati jalan kecil dan
berliku, kami sampai di Cape Otway Lightstation, sebuah mercusuar tertua di
Australia setinggi 20 m dan dibangun pada tahun 1846. “We have lunch in this
place. Enjoy your lunch” kata si sopir.
Zita dan Cape Otway Lightstation |
Makan siang terdiri dari
macaroni, sosis berukuran jumbo, roti keras, dan aneka warna dedaunan (ada yang
warna hijau, merah, ungu, dan oranye, entah daun apa) sebagai salad atau
lalapan kalo di Indonesia. Kami makan sambil menikmati pemandangan sebuah
Lighthouse yang berlatar birunya air laut.
makan siang dan sebuah lighthouse di kejauhan |
Selesai makan, kami mulai
berjalan ke arah lighthouse, dan meniti seratusan anak tangga yang memutar menuju
puncak atas lighthouse. Pemandangan dari atas menara ternyata menakjubkan.
Anginnya kencang menambah dingin menjadi semakin dingin. “Awesome” teriak turis
Perancis di sebelahku.
penampakan dari puncak lighthouse |
Karena puncak lighthouse sangat
sempit, kami harus bergantian menikmati pemandangan indah ini. “Scary?” tanya
pria berkulit hitam dalam rombonganku ketika kami berpas-pasan di pintu
lighthouse. “Not really” jawabku sambil memasang tampang sok cool, padahal aku
takut juga berada di atas sana. Pria berkulit hitam itu tersenyum lebar sekali
memamerkan giginya yang putih bersih, sangat kontras dengan warna kulitnya yang
sehitam malam.
Twelve Apostles yang sudah tidak berjumlah
twelve lagi
Kembali menyusuri Great Ocean
Road, tempat selanjutnya yang kami kunjungi adalah Twelve Apostles yang berada
di Princetown Victoria. Twelve Apostles merupakan formasi bebatuan yang berupa
pilar dengan berbagai bentuk, berdiri terpisah dari daratan. “Jumlah pilar batu
ini sekarang hanya tinggal 8, karena selalu dilanda erosi, menyebabkan beberapa
batuan kapur itu roboh” begitu kira-kira penjelasan tour guide. Aku harus memperhatikan dengan cermat mulut si tour guide tiap kali dia ngomong. "Ngomong apa sih dia?" tanyaku pada si ayah yang lebih fasih berbahasa Inggris. Perkataan tour guide ketika aku di Thailand dulu, lebih bisa aku mengerti dibanding tour guide asal Belanda ini.
Twelve Apostles |
Disisi lain dari Twelve
Apostles, ada tebing batu lain yang tidak kalah keren. Tapi kalo aku perhatikan
sih, mirip Uluwatu di Bali.
Helikopter terbang
berputar-putar di atasku, membawa turis yang ingin menikmati pemandangan dari
angkasa. Untuk dapat menaiki helikopter ini, kamu harus membayar sejumlah $95
per orang.
mirip Uluwatu nggak sih? Mungkin ini Uluwatu-nya Australia kali ya. |
Kaki Terbenam di Loch Ard Gorge
Tempat terakhir yang kami
datangi adalah Loch Ard Gorge, hanya berjarak 5 menit berkendara dari Twelve
Apostles. Untuk mencapai Twelve Apostles maupun Loch Ard Gorge, kita harus
berjalan kaki jauh. Bedanya, kalo di Twelve Apostles jalannya datar, tetapi
kalo di Loch Ard Gorge ini jalannya turuuunn ke bawah, pakai tangga kayu yang
dipasang diantara batuan dan pasir pantai. Turunnya sih enak, pulangnya itu
lho, naiiikk bikin ngos-ngos-an.
Begitu kaki menginjak pasir
pantai, ternyata sepatuku langsung terbenam ke dalam pasir. Haduh, kayaknya
enak nih kalo jalan di pasir bertelanjang kaki, tapi di musim dingin begini,
nggak mungkin lah aku copot sepatu, bisa-bisa kaki membeku kedinginan. Tips :
pakailah boot setinggi lutut jika kamu datang kesini di musim dingin, kalo
sepatunya pendek, bisa-bisa sepatumu penuh berisi pasir pantai yang menelan
kakimu.
Loch Ard Gorge |
Hotel Mewah si Hitam
Dalam perjalanan pulang, kami
diantar ketempat penginapan kami masing-masing. Ternyata hotel-hotel yang
ditempati oleh orang-orang dalam rombonganku ini keren-keren, sepertinya hanya
aku yang menginap di hostel sederhana dan murah.
Ketika kendaraan berhenti di
depan Crowne Hotel yang super megah, aku tebak-tebakan sama si ayah. “Siapa ya
yang nginep di hotel mewah ini?” tanyaku sambil memperhatikan petugas
berseragam keren yang berdiri di samping pintu hotel, dengan setia membawakan
koper para tamu hotel. “Paling pria-pria Jerman itu” kata si ayah menunjuk dua
lelaki Jerman yang emang terlihat seperti orang kaya. “Kayaknya sih bukan orang
Perancis di depanku ini” kataku menunjuk dua muda mudi Perancis yang sedang
berciuman di depanku.
Aku dan si ayah berdebat dengan
suara lantang, tanpa perlu berbisik, karena di dalam mobil ini hanya aku dan si
ayah yang bisa bahasa Indonesia, yang lain sih kayaknya nggak ngerti apa yang
kuperbincangkan dengan si ayah. Tanpa diduga, si pria muda berkulit hitam gelap,
berambut keriting kriwil, yang hanya membawa tas slempang kecil, dan
berpenampilan sangat sangat sederhana, berdiri dan melambai ke semua rombongan
“Bye. Nice to meet you all” katanya masih dengan senyum lebar yang selalu
terpasang di wajahnya.
“Tuh orang anggota keluarga raja
kali ya ditempat asalnya, bisa nginep di hotel mewah ini” kataku pada si ayah.
“Hotelnya ada di gang sempit di belakang Crowne Hotel ini kali” kata si ayah
ngeyel masih belum percaya kalo si cowok yang terlihat sederhana itu mampu
membayar tarif Crowne Hotel yang super mewah. Kami berdua memperhatikan pria
berkulit hitam yang berjalan masuk kedalam Crowne Hotel, dan diberi sambutan
dengan hormat oleh petugas hotel. Keren tuh orang, meskipun kulitnya hitam tam,
tapi ramah banget, bikin penampilannya menarik.
Dan esok harinya aku nongkrong
di depan hotel ini, di pinggir Yarra River, siapa tau ketemu pria hitam itu
lagi.
si pria hitam terlihat di latar belakang, pake sweater biru dan tas slempang (lokasi : AngleSea) |
Catatan : Seharian menyusuri
Great Ocean Road? Kayaknya waktunya kurang deh. Kalo mau puas, kamu bisa
menyewa mobil maupun caravan dan menginap di kota-kota kecil yang banyak
tersebar di sepanjang Great Ocean Road, seperti Apollo Bay, Lorne, Torquay,
Peterborough, Lavers Hill, dsb. Kalo ikut paket tour, baru nongkrong 10 menit,
udah dipanggil disuruh buruan naik ke mobil lagi. Hadeh, blom puas foto-foto
nih. Buat jalan kakinya aja butuh waktu berpuluh-puluh menit.
- tentang Adelaide
- tentang Melbourne
- tentang Sydney
- Custom Sydney Airport
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapuskeren banget kak tempat-tempatnya meskipun omongan tour guide nya kurang di mengerti.. hhe
BalasHapus