April 2012. Aku dan Zita sedang berada di loket
pembelian tiket Stasiun Senen. Sore itu, aku berburu ‘dua tiket’ Gumarang untuk
malam ini. “Habis” kata si mbak petugas loket. “Tiket apa aja deh mbak, yang penting
ke Surabaya malam ini” kataku ngotot. “Coba ke Gambir, mungkin masih ada tiket
Sembrani disana, berangkat jam 5 sore” kata si mbak lagi kasihan melihatku.
Aku
melirik jam yang menempel dengan pasrah di dinding stasiun. Jam 4 sore. Keburu
nggak ya ke Gambir? Pikirku dengan panik. Sambil berlari tergopoh-gopoh, aku
menenteng tas besar di tangan kanan dan menggandeng Zita dengan tangan kiriku.
Kami berdua berlari menuju bajaj, seperti dua pelari SeaGames yang sedang
berjuang mendapatkan piala kemenangan.
“Ke
Gambir pak” teriakku pada si sopir, setelah kami duduk rapi di dalam bajaj.
Sebenarnya tidak bisa dibilang rapi sih. Tas dan Zita aku tumpuk dengan asal di
dalam bajaj. Sedangkan aku, duduk dengan posisi pantat yang miring tidak
nyaman.
Aku
mengetik dengan cepat di layar hp. “Gumarang habis” kemudian aku kirim sms
singkat itu pada si ayah. Hanya dalam waktu beberapa detik, datang balasan dari
si ayah. “Cari tiket lain, yang penting turun di Turi, jangan di Gubeng. Aku
baru bisa jemput jam 6 pagi” jawab si ayah.
Aku
berlari-lari lagi, kali ini di Stasiun Gambir. “Sudah kayak syuting sinetron
aja nih” pikirku “kayak adegan Cinta yang sedang berlari mengejar Rangga di
stasiun” hehehe.
Jam
16.45 aku sudah berdiri di depan loket Stasiun Gambir. Tiket Sembrani yang
berangkat jam 5 sore sudah terjual habis. Tinggal Argo Bromo yang masih
tersisa. Mau gimana lagi, akhirnya aku membeli dua tiket Argo Bromo yang
berangkat jam 8 malam. Niat hati pengen beli tiket Gumarang yang murah, tetapi
apa daya akhirnya terpaksa beli Argo Bromo yang super muahal.
Pada
masa itu, belum ngetren beli tiket kereta di Indomaret seperti sekarang. Untuk
membeli tiket, kita harus datang langsung ke stasiun. Sedangkan untuk ke
stasiun yang letaknya di Jakarta, aku yang tinggal di Bogor ini malas pergi
jauh dengan membawa Zita karena tidak mungkin kalau Zita kutinggal di rumah
sendirian. Jadi kupikir, beli tiket dadakan aja deh ntar. Lagian aku berangkat
hari rabu, pertengahan minggu biasanya sepi. Ternyata eh ternyata, nggak awal minggu,
nggak akhir minggu, pun di pertengahan, tiket kereta tetap saja laris manis bak
gorengan di pinggir jalan, saking banyaknya jumlah penduduk Indonesia yang
hendak bepergian.
Kembali
ke Gambir, 3 jam aku habiskan untuk menunggu si Argo Bromo. Aku menunggu dengan
berjalan kesana kemari karena memang Zita kecil orangnya nggak bisa diam
ditempat. Dia ngajak jalan kesana, kesini, dan kesitu. Bahkan dia sempat
merengek pengen ke Monas karena Zita melihat Monas yang berkerlap kerlip warna
warni dari atas Stasiun Gambir ini. Hhhh memang repot sekali kalau bepergian
membawa anak kecil.
Akhirnya…
aku sudah berada di dalam Argo Bromo yang berlari kencang, menyusul si ayah
yang sedang ada tugas kantor di Pasuruan.
Argo
Bromo yang konon katanya merupakan kereta tercepat di Indonesia ini, tiba di
tempat tujuan jam 4 pagi, hanya berselang 20 menit dari Gumarang yang berangkat
3 jam lebih awal. Begitu turun dari kereta, kami langsung disuruh keluar oleh
petugas stasiun karena stasiun akan segera ditutup. Akhirnya aku dan Zita tidur
di emperan stasiun seperti gelandangan, sambil menunggu si ayah yang katanya
akan datang menjemput jam 6 pagi.
*
Malam
harinya. Jam 12 malam. Teng tong teng tong. Alarm jam berteriak dengan hebohnya.
Sambil tergesa-gesa seperti Cinderela yang harus segera pulang tepat jam 12
malam, aku membangunkan Zita untuk kuajak masuk ke dalam mobil. Kami akan
berkendara malam ini menuju #Bromo, untuk melihat sunrise di Pananjakan. Paling
telat jam 4.30 pagi kami sudah harus berada di Puncak Pananjakan kalau tidak
mau ketinggalan sunrise.
Jalanan
malam ini lumayan sepi. “Kalau weekend biasanya ramai” kata Pak Yunus, si sopir
yang kami sewa. Pak Yunus ini orang asli Surabaya sehingga sudah hapal
lika-liku jalan menuju Bromo. Begitu memasuki kawasan Bromo, mobil kami dicegat
oleh segerombolan orang yang menutupi tubuhnya dengan kain sarung. “Dari sini
harus ganti pakai jeep pak” kata salah satu orang bersarung itu. Aku sudah
pernah ke Bromo semasa SD dulu. Waktu itu aku sekeluarga mengendarai sedan kesini,
jadi aku tahu kalau memang harus berganti menggunakan jeep untuk bisa sampai
puncak Bromo. Untung Pak Yunus kenal dengan salah satu bos pemilik penyewaan
jeep disini. Tinggal sebut nama si bos, kami langsung diperbolehkan lewat oleh
gerombolan orang bersarung tersebut.
Hanya
berjarak beberapa ratus meter saja, kami kembali dicegat oleh gerombolan orang
bersarung, dengan alasan sama, yaitu harus berganti kendaraan menggunakan jeep.
Lagi-lagi Pak Yunus menyebutkan nama si bos, dan kami kembali dipersilakan
lewat. Kurang lebih ada 6 pos cegatan kami lalui. Kalau tidak ada Pak Yunus,
kami sudah pasti langsung berganti jeep di pos pertama yang jaraknya masih jauh
banget dari Bromo, dan pasti harga jeepnya lebih mahal. Tetapi karena Pak Yunus
yang kenal dengan si bos besar, kami berhasil sampai pos terakhir, yang berada
tepat di pinggir lautan pasir Bromo yang terkenal itu. Menyewa jeep dari sini,
tentu tidak semahal kalau kita menyewa dari pos pertama yang jaraknya masih
sangat jauh dari Bromo.
Akhirnya,
kami berganti kendaraan menggunakan jeep yang kami sewa seharga 350rb,
mengarungi lautan pasir yang luas membentang. Jam 4 pagi. Suasana masih gelap
gulita. Tidak ada lampu sama sekali di tengah lautan pasir ini. Entah bagaimana
si sopir jeep bisa tahu arah mana yang harus dia lewati, tanpa tersesat di
lautan pasir ini. Memang ada beberapa tonggak kayu sebagai petunjuk jalan, tapi
selebihnya, hanya kegelapan total menyelimuti kami.
Setelah
menyeberangi lautan pasir, kendaraan kami mulai menaiki jalan meliuk ke atas,
menuju Puncak Pananjakan. Jam 5 pagi kami turun dari jeep. Udara dingin yang
menggigit sampai ke tulang, langsung menyerbu kami. Padahal tadi di dalam jeep
udara hangat, tetapi di luar ternyata udara dingin tanpa ampun menyerang kami.
Di
Puncak Pananjakan, ternyata sudah banyak orang yang sedang menanti sunrise.
Kebanyakan dari mereka adalah bule. Hanya sedikit orang pribumi yang aku lihat.
“Five degree” kata salah seorang bule di sebelahku kepada bule lainnya. Gila
nih, lebih dingin dari Merbabu, Sindoro, dan Sumbing yang sudah pernah
kutaklukkan puncaknya sebelum ini. Zita kecil mulai menangis kedinginan. “Aku
nggak mau kesini” rengek Zita minta pulang. Huh dasar anak kecil, sudah
jauh-jauh kesini malah minta pulang.
kedinginan di Puncak Pananjakan bersama para bule |
jeep yang mengantar kami |
berjalan di atas pasir sambil diikuti kuda yang menawarkan jasanya |
karena rewel kecapekan, akhirnya Zita naik kuda |
pura di tengah lautan pasir, sebagai tempat awal pelaksanaan upacara Kasodo |
puluhan anak tangga menuju Kawah Bromo |
si centil bergaya di pinggir kawah tanpa berpegangan |
Bromo dari kejauhan |
Baca juga :
- Terowongan Waduk Jatiluhur
- Tempat Wisata di Jakarta
- Bentuk Unik Kawah Kelud
- Wisata Bali
kalau melihat gunung bromo terlihat sangat indah apalagi dari kejauhan karena terlihat seluruhnya, kalau ke puncaknya sih pasti capek ya karena harus menaiki seratus anak tangga.. hehe
BalasHapus