Selasa, 20 Oktober 2015

Dingin Menggigit & Panas Menyengat di Bromo



April 2012. Aku dan Zita sedang berada di loket pembelian tiket Stasiun Senen. Sore itu, aku berburu ‘dua tiket’ Gumarang untuk malam ini. “Habis” kata si mbak petugas loket. “Tiket apa aja deh mbak, yang penting ke Surabaya malam ini” kataku ngotot. “Coba ke Gambir, mungkin masih ada tiket Sembrani disana, berangkat jam 5 sore” kata si mbak lagi kasihan melihatku.

Aku melirik jam yang menempel dengan pasrah di dinding stasiun. Jam 4 sore. Keburu nggak ya ke Gambir? Pikirku dengan panik. Sambil berlari tergopoh-gopoh, aku menenteng tas besar di tangan kanan dan menggandeng Zita dengan tangan kiriku. Kami berdua berlari menuju bajaj, seperti dua pelari SeaGames yang sedang berjuang mendapatkan piala kemenangan.

“Ke Gambir pak” teriakku pada si sopir, setelah kami duduk rapi di dalam bajaj. Sebenarnya tidak bisa dibilang rapi sih. Tas dan Zita aku tumpuk dengan asal di dalam bajaj. Sedangkan aku, duduk dengan posisi pantat yang miring tidak nyaman.

Aku mengetik dengan cepat di layar hp. “Gumarang habis” kemudian aku kirim sms singkat itu pada si ayah. Hanya dalam waktu beberapa detik, datang balasan dari si ayah. “Cari tiket lain, yang penting turun di Turi, jangan di Gubeng. Aku baru bisa jemput jam 6 pagi” jawab si ayah.

Aku berlari-lari lagi, kali ini di Stasiun Gambir. “Sudah kayak syuting sinetron aja nih” pikirku “kayak adegan Cinta yang sedang berlari mengejar Rangga di stasiun” hehehe.

Jam 16.45 aku sudah berdiri di depan loket Stasiun Gambir. Tiket Sembrani yang berangkat jam 5 sore sudah terjual habis. Tinggal Argo Bromo yang masih tersisa. Mau gimana lagi, akhirnya aku membeli dua tiket Argo Bromo yang berangkat jam 8 malam. Niat hati pengen beli tiket Gumarang yang murah, tetapi apa daya akhirnya terpaksa beli Argo Bromo yang super muahal.

Pada masa itu, belum ngetren beli tiket kereta di Indomaret seperti sekarang. Untuk membeli tiket, kita harus datang langsung ke stasiun. Sedangkan untuk ke stasiun yang letaknya di Jakarta, aku yang tinggal di Bogor ini malas pergi jauh dengan membawa Zita karena tidak mungkin kalau Zita kutinggal di rumah sendirian. Jadi kupikir, beli tiket dadakan aja deh ntar. Lagian aku berangkat hari rabu, pertengahan minggu biasanya sepi. Ternyata eh ternyata, nggak awal minggu, nggak akhir minggu, pun di pertengahan, tiket kereta tetap saja laris manis bak gorengan di pinggir jalan, saking banyaknya jumlah penduduk Indonesia yang hendak bepergian.

Kembali ke Gambir, 3 jam aku habiskan untuk menunggu si Argo Bromo. Aku menunggu dengan berjalan kesana kemari karena memang Zita kecil orangnya nggak bisa diam ditempat. Dia ngajak jalan kesana, kesini, dan kesitu. Bahkan dia sempat merengek pengen ke Monas karena Zita melihat Monas yang berkerlap kerlip warna warni dari atas Stasiun Gambir ini. Hhhh memang repot sekali kalau bepergian membawa anak kecil.

Akhirnya… aku sudah berada di dalam Argo Bromo yang berlari kencang, menyusul si ayah yang sedang ada tugas kantor di Pasuruan.

Argo Bromo yang konon katanya merupakan kereta tercepat di Indonesia ini, tiba di tempat tujuan jam 4 pagi, hanya berselang 20 menit dari Gumarang yang berangkat 3 jam lebih awal. Begitu turun dari kereta, kami langsung disuruh keluar oleh petugas stasiun karena stasiun akan segera ditutup. Akhirnya aku dan Zita tidur di emperan stasiun seperti gelandangan, sambil menunggu si ayah yang katanya akan datang menjemput jam 6 pagi.
*
Malam harinya. Jam 12 malam. Teng tong teng tong. Alarm jam berteriak dengan hebohnya. Sambil tergesa-gesa seperti Cinderela yang harus segera pulang tepat jam 12 malam, aku membangunkan Zita untuk kuajak masuk ke dalam mobil. Kami akan berkendara malam ini menuju #Bromo, untuk melihat sunrise di Pananjakan. Paling telat jam 4.30 pagi kami sudah harus berada di Puncak Pananjakan kalau tidak mau ketinggalan sunrise.

Jalanan malam ini lumayan sepi. “Kalau weekend biasanya ramai” kata Pak Yunus, si sopir yang kami sewa. Pak Yunus ini orang asli Surabaya sehingga sudah hapal lika-liku jalan menuju Bromo. Begitu memasuki kawasan Bromo, mobil kami dicegat oleh segerombolan orang yang menutupi tubuhnya dengan kain sarung. “Dari sini harus ganti pakai jeep pak” kata salah satu orang bersarung itu. Aku sudah pernah ke Bromo semasa SD dulu. Waktu itu aku sekeluarga mengendarai sedan kesini, jadi aku tahu kalau memang harus berganti menggunakan jeep untuk bisa sampai puncak Bromo. Untung Pak Yunus kenal dengan salah satu bos pemilik penyewaan jeep disini. Tinggal sebut nama si bos, kami langsung diperbolehkan lewat oleh gerombolan orang bersarung tersebut.

Hanya berjarak beberapa ratus meter saja, kami kembali dicegat oleh gerombolan orang bersarung, dengan alasan sama, yaitu harus berganti kendaraan menggunakan jeep. Lagi-lagi Pak Yunus menyebutkan nama si bos, dan kami kembali dipersilakan lewat. Kurang lebih ada 6 pos cegatan kami lalui. Kalau tidak ada Pak Yunus, kami sudah pasti langsung berganti jeep di pos pertama yang jaraknya masih jauh banget dari Bromo, dan pasti harga jeepnya lebih mahal. Tetapi karena Pak Yunus yang kenal dengan si bos besar, kami berhasil sampai pos terakhir, yang berada tepat di pinggir lautan pasir Bromo yang terkenal itu. Menyewa jeep dari sini, tentu tidak semahal kalau kita menyewa dari pos pertama yang jaraknya masih sangat jauh dari Bromo.

Akhirnya, kami berganti kendaraan menggunakan jeep yang kami sewa seharga 350rb, mengarungi lautan pasir yang luas membentang. Jam 4 pagi. Suasana masih gelap gulita. Tidak ada lampu sama sekali di tengah lautan pasir ini. Entah bagaimana si sopir jeep bisa tahu arah mana yang harus dia lewati, tanpa tersesat di lautan pasir ini. Memang ada beberapa tonggak kayu sebagai petunjuk jalan, tapi selebihnya, hanya kegelapan total menyelimuti kami.

Setelah menyeberangi lautan pasir, kendaraan kami mulai menaiki jalan meliuk ke atas, menuju Puncak Pananjakan. Jam 5 pagi kami turun dari jeep. Udara dingin yang menggigit sampai ke tulang, langsung menyerbu kami. Padahal tadi di dalam jeep udara hangat, tetapi di luar ternyata udara dingin tanpa ampun menyerang kami.

Di Puncak Pananjakan, ternyata sudah banyak orang yang sedang menanti sunrise. Kebanyakan dari mereka adalah bule. Hanya sedikit orang pribumi yang aku lihat. “Five degree” kata salah seorang bule di sebelahku kepada bule lainnya. Gila nih, lebih dingin dari Merbabu, Sindoro, dan Sumbing yang sudah pernah kutaklukkan puncaknya sebelum ini. Zita kecil mulai menangis kedinginan. “Aku nggak mau kesini” rengek Zita minta pulang. Huh dasar anak kecil, sudah jauh-jauh kesini malah minta pulang.

Jam 5.30 semburat warna kuning mulai terlihat. Orang-orang berebut tempat paling menarik untuk mengabadikan momen-momen penuh keromantisan ini. Para bule mulai melepas jaket mereka, padahal dingin belum berhenti menggigit.
 
kedinginan di Puncak Pananjakan bersama para bule

Selesai menikmati sunrise, jeep kembali melaju menyeberangi lautan pasir menuju Kawah Bromo.

jeep yang mengantar kami
Jeep tidak bisa terlalu mendekat ke Kawah Bromo karena sudah dihadang oleh kerumunan kuda yang siap mengambil alih tugas mengantar turis ke Kawah Bromo. Kami berjalan kaki karena tarif kuda terlalu mahal. Tetapi begitu melihat Zita yang rewel tidak mau jalan, kuda langsung menguntit, menungguku kelelahan menggendong Zita dan akhirnya menyerah untuk kemudian mau menyewa kuda.
berjalan di atas pasir sambil diikuti kuda yang menawarkan jasanya
karena rewel kecapekan, akhirnya Zita naik kuda

Di tengah lautan pasir, terdapat sebuah bangunan luas pura yang dipergunakan oleh penduduk setempat (suku Tengger) untuk melaksanakan upacara Kasodo yang dilaksanakan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama di bulan Kasodo (kesepuluh) menurut penanggalan Jawa.
pura di tengah lautan pasir, sebagai tempat awal pelaksanaan upacara Kasodo

Untuk dapat sampai ke Kawah Bromo, kita harus menaiki seratus lebih anak tangga. Sepanjang perjalanan, banyak bule yang memandang kagum ke arah Zita, si anak kecil yang semangat menaiki puluhan anak tangga.
 
puluhan anak tangga menuju Kawah Bromo

Sampai di puncak Kawah, dingin yang tadinya menggigit berubah menjadi panas yang menyengat. Pagar pembatas di sekeliling kawah, hancur lebur karena letusan Bromo tahun 2011, sehingga hanya tonggak-tonggak rusak yang dapat dijadikan pegangan. Zita kecil dengan centilnya bergaya di bibir kawah, ‘ngeyel’ tidak mau dipegangi. Padahal, tergelincir sedikit saja, tamatlah sudah. Apalagi dengan pasir yang menyelimuti seluruh area, membuat tanah yang kita pijak semakin licin.

si centil bergaya di pinggir kawah tanpa berpegangan
Ketika menanjak ke arah kawah naik kuda sih enak. Tetapi ternyata ketika turun, ngeri banget, badan seperti hendak terperosot jatuh ke depan kuda. Mending kalau turun kawah jalan kaki saja deh.
Bromo dari kejauhan
Lihat foto lainnya di fb : Tyas Susilaning

Baca juga :
- Terowongan Waduk Jatiluhur 
- Tempat Wisata di Jakarta 
- Bentuk Unik Kawah Kelud 
- Wisata Bali 

1 komentar:

  1. kalau melihat gunung bromo terlihat sangat indah apalagi dari kejauhan karena terlihat seluruhnya, kalau ke puncaknya sih pasti capek ya karena harus menaiki seratus anak tangga.. hehe

    BalasHapus