Mei 2013. Aku kembali berburu ‘dua
tiket’ Jakarta – Surabaya. Kali ini, aku dan Zita hendak menyusul si ayah yang
sedang ada tugas belajar di Surabaya selama tiga bulan.
Setelah bergabung dengan si ayah di
Surabaya, kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan APV pinjaman dari
kakak ipar, yang kami pinjam dalam keadaan mulus, tetapi kembali dalam keadaan
babak belur karena diseruduk motor. Hehe, maaf ya kakak ipar.
Tujuan kami adalah menjelajah Pulau #Bali,
sekalian survey tempat karena si ayah akan melanjutkan tugas belajarnya di
Bali, untuk persiapan kuliah S-2nya di Australia. Kenapa Bali? Mungkin karena
Bali penuh dengan orang Australia, sehingga si ayah diharuskan berbaur dengan
orang-orang Australia untuk bekalnya nanti selama tinggal di Negeri Kanguru.
Di tengah panasnya langit Surabaya,
kami mulai memacu kendaraan ke arah timur. Tadinya aku pikir Surabaya – Bali
adalah jarak yang dekat. tetapi ternyata meskipun gelap telah menggantikan
terang, tanda-tanda keberadaan Pulau Bali belum juga terlihat. Kantuk mulai
menyerangku tanpa ampun. Bahkan Zita sudah sedari tadi berjalan memasuki alam
mimpi.
Belum sempat aku menyusul Zita ke alam
mimpi, kerlip cahaya di sebelah kiri menarik perhatianku. “Wah… indah banget.
Apaan sih itu?” kataku seraya menegakkan tubuh. “Itu pembangkit listrik Paiton”
kata si ayah. “Emang sekarang kita ada di kota mana?” tanyaku masih penasaran.
“Probolinggo” jawab si ayah singkat.
Indah sekali cahaya yang dihasilkan
oleh pembangkit listrik Paiton ini di malam hari, membuat kantuk yang tadi
datang menyerang, kini lari tunggang langgang menjauhiku. Selama 20 menit kemudian,
aku masih terpesona oleh kilauan ribuan cahaya itu.
Tepat di tengah malam, gerbang
pelabuhan Ketapang menyambut kami. Tanpa menunggu antri panjang, kendaraan kami
mulai memasuki kapal fery yang akan berlayar menuju Gilimanuk. Karena malam,
aku tidak bisa melihat anak-anak koin yang terkenal itu.
Begitu roda mobil menginjak tanah Bali,
dengan semangat aku kembali menegakkan posisi dudukku. Tetapi seiring roda
mobil berputar, semangatku perlahan-lahan mulai luntur. “Mana nih, kok di kanan
kiri jalan cuma ada pohon-pohon doang? Kalo gitu nggak ada bedanya sama di Jawa
dong” kataku sewot. Bayanganku tentang pura yang bertebaran di sepanjang jalan
tidak kunjung tampak. “Sabar, pusat kehidupan di Bali masih jauh di depan” kata
si ayah.
Tanah Lot |
Ada seorang bapak-bapak yang menawari
kami untuk menyeberang ke Tanah Lot. Karena Zita tidak berani, akhirnya hanya
si ayah yang menyeberang. Air setinggi paha mengepungnya dari segala arah.
Dari Tanah Lot, kami istirahat sebentar
di penginapan di daerah Denpasar. Setelah sarapan dan mandi pagi, kami lanjut
ke arah selatan. Menurut peta, jika kami menjelajah ke arah selatan Bali, kami
akan melewati GWK (Garuda Wisnu Kencana), kemudian Dream Land, dan Uluwatu di
paling ujung selatan Pulau Bali.
Sepanjang perjalanan, banyak bule hanya
mengenakan tank top dan berkendara menaiki motor di tengah panas matahari yang
menyengat. Kalau aku sih sayang sama kulit yang tidak terlalu putih ini. Setiap
bepergian menggunakan motor, aku selalu menutupi seluruh tubuh dengan jaket,
celana panjang, kaos kaki, kaos tangan, slayer, pokoknya tidak boleh ada bagian
kulit yang terkena matahari.
Dream Land |
Menurut satpam yang menjaga gerbang
Dream Land, GWK tidak terlalu jauh dari situ. Karena penasaran, kami berbalik
arah untuk mencari keberadaan GWK.
Garuda Wisnu Kencana |
Di sisi sebelah patung Kepala Garuda, kita akan menemukan patung Dewa Wisnu yang tidak kalah besar. Dari tempat patung ini berdiri di ketinggian, kita dapat menikmati pemandangan jalan tol baru, yang melingkar di atas perairan. Aku tidak bosan duduk berlama-lama disini karena aku juga dapat menyaksikan pesawat yang take off dan landing di bawahku.
pemandangan di depan Sang Garuda |
Patung Dewa Wisnu |
Keluar dari GWK, kami kembali ke
selatan menuju Uluwatu di ujung Pulau Bali.
Uluwatu |
Sebenarnya aku ingin menonton
pertunjukan Tari Kecak yang dilaksanakan jam 6 sore ketika matahari terbenam.
Tetapi ternyata untuk dapat menyaksikan pagelaran ini, kita harus membayar
mahal. Terpaksa deh, aku hanya dapat mendengar dari luar, para pemain Tari
Kecak yang berteriak “cak cak cak cak”.
Pengalaman paling tidak bisa kulupakan
ketika mengunjungi Uluwatu adalah ketika ada 4 monyet mendekati Zita dan
mengambil dengan paksa sandal warna pink yang sedang dipakai Zita. Sayang waktu
itu tidak ada pecalang di sekitar kami, jadi terpaksa deh sandal pink Zita
diikhlaskan saja untuk mainan para monyet kecil itu.
Monyet-monyet Uluwatu yang nakal itu
juga mengambil kacamata, botol minum, topi, dan sebagainya dari para bule yang
lewat. Hati-hati ya, kalau ke Uluwatu mending nggak usah bawa apa-apa deh,
selain baju yang melekat di badan.
Baca juga :
- Sunrise di Bromo
- Terowongan Waduk Jatiluhur
- Tempat Wisata di Jakarta
- Bentuk Unik Kawah Kelud
Tidak ada komentar:
Posting Komentar