Kali ini, langkah kaki membawa kami
menyusuri bagian utara Pulau Bali. Tempat persinggahan pertama kami adalah Bedugul,
yang gambarnya bisa kita lihat di lembaran uang lima puluh ribu rupiah yang
berwarna biru. Aku sebenarnya ingin berfoto mirip seperti di lembaran uang itu,
dengan menaiki perahu yang mengapung di tengah perairan, persis seperti dalam
gambar. Tetapi ternyata, perahu itu hanya berlayar ketika ada acara keagamaan
saja.
Bedugul, gambar yang ada di uang lembar lima puluh ribu rupiah |
Dari Bedugul, kami lanjut ke Gunung Batur.
Begitu turun dari mobil, kami diserbu para pedagang asongan. Mereka berjalan di
kanan kiri kami, di belakang, bahkah banyak pula yang berjalan mepet di depan
kami sehingga kami kesulitan melangkah. Ada yang menawarkan kaos, buah-buahan,
souvenir seperti gelang dan kalung, dan banyak pula yang menawarkan tato.
Sebenarnya sih sangat mengganggu sekali ya.
Gunung Batur & Danau Batur |
Sebenarnya pemandangan di sini indah,
tidak membuat bosan. Yang membuat bosan adalah para pedagang asongan yang terus
mendesak supaya kami mau membeli barang dagangan mereka. Akhirnya kami mencoba
membuat tato yang ditawarkan, dan memenuhi kaki dan tangan kami dengan ukiran
tato. Dan ternyata tinta tato kami mengotori seprai hotel yang berwarna putih
polos bersih, tempat kami menginap. Keesokan hari ketika bangun tidur, seprai
polos putih bersih itu berubah menjadi belang-belang kehitaman gara-gara tato
kami.
Dari daerah Batur, kami langsung
lanjut ke Besakih, pusat kegiatan dari seluruh pura yang ada di Bali. Ketika
hendak memasuki kawasan Besakih, mobil kami dihadang oleh seorang ibu-ibu paruh
baya berusia sekitar 50-an. Dia langsung memakaikan gelang ke tangan kami,
menaburkan bunga ke arah kami, sambil mulutnya komat-kamit di depan dupa yang
terbakar. Kemudian dia juga memakaikan udeng ke kepala si ayah, menyelipkan
bunga kamboja ke telinga kami, serta menempelkan butiran beras di jidat kami.
Katanya sih sebagai syarat untuk memasuki Pura Besakih. Setelah itu… dia minta
bayaran. “Seikhlasnya saja om” kata si ibu-ibu itu. Si ayah mengangsurkan uang
dua puluh ribu rupiah. “Kurang om. Udengnya saja sepuluh ribuan. Belum
gelangnya”. Wah kalau ini sih malak namanya. Aku celingak celinguk melihat
jalanan yang sepi. Beberapa mobil melintas tanpa dicegat. Mungkin si ibu ini
melihat plat mobil kami yang AG (Kediri), jadi pikirnya “bukan orang lokal nih,
wajib diminta sumbangan”. Yah sudahlah, pengalaman, besok lagi kalau lewat sini
nggak bakalan mau berhenti kalau dicegat lagi.
Zita di Pura Besakih, dg beras yg masih menempel di jidat, & gelang di tangan, hasil dari paksaan seorang ibu-ibu yg minta sumbangan |
Upacara adat Bali. si ayah masih memakai udeng & gelang hasil dr paksaan seorang ibu-ibu yg minta sumbangan di pinggir jln tadi |
Sanur Bali. Zita manyun krn kalah rebutan topi sama bundanya ^-^ |
para bule sedang berjemur di Kuta |
Lihat foto lainnya di fb : Tyas Susilaning
Baca juga :
- Terowongan Waduk Jatiluhur
- Sunrise di Bromo
- Tempat Wisata di Jakarta
- Bentuk Unik Kawah Kelud
danau baturnya indah sekali ya kak..
BalasHapus