Awal dari cerita ini adalah ketika aku
melihat sebuah tempat indah bernama Parangendog di internet. Dalam gambar
tersebut terlihat seorang yang sedang duduk ongkang-ongkang kaki di sebuah… hmm
apa ya namanya? Pokoknya seperti puing-puing bangunan yang sudah tidak terpakai
gitu deh. Dan, di bawah kaki orang itu, jauuuuh di bawah sana, terhampar
pemandangan indah sebuah pantai. Jadi tuh orang duduk di atas ketinggian, tanpa
pengaman, dan pemandangan di bawahnya indah banget. “Aku harus datang ketempat
ini”begitu tekadku waktu itu.
Setelah kutelusuri, ternyata tempat itu
berada di sebelah Pantai Parangtritis yang tidak begitu jauh dari tempat
tinggalku di Magelang. Setelah mencari lokasinya di internet, sepertinya
gampang untuk mencari tempat itu, dari gerbang masuk Pantai Parangtritis, aku
tinggal terus saja mengikuti jalan ke arah Pantai Parangtritis yang memang cuma
itu satu-satunya jalan utama. Ketika sampai di tempat parkir Pantai
Parangtritis, terus saja ke arah timur dan mengikuti jalan menanjak. Sudah
beberapa kali aku ke Pantai Parangtritis dan memang aku sering melihat jalan
menanjak itu dari tempat parkir Pantai Parangtritis, hanya saja aku belum
pernah mencoba melewatinya karena aku tidak tahu ada tempat keren diatas jalan
menanjak itu.
Aku mengangsurkan uang sebesar dua belas
ribu rupiah sebagai ongkos masuk untuk sebuah mobil dan tiga orang
penumpangnya, kepada petugas penjaga gerbang Kawasan Pantai Parangtritis.
“Kalau Parangendog itu dimana pak?“ tanyaku pada petugas bertopi itu. “Itu
tempat untuk paralayang mbak, terus saja mengikuti jalan ini lalu ikuti jalan
menanjak setelah Pantai Parangtritis, nanti Parangendog ada di ujung jalan yang
paling jauh” jawab si bapak sambil menyerahkan karcis tanda masuk.
Begitu melewati Pantai Parangtritis di
kanan jalan, mobil kami mulai tergopoh-gopoh menaiki tanjakan yang selama ini
sering kulihat tapi belum pernah kujejaki ini. Jalan sempit yang hanya muat
untuk dua mobil itu terus menanjak ke atas, disertai kelok-kelok lekukan jalan
yang teduh dinaungi pohon-pohon. Setelah lama menanjak, aku menemukan papan
petunjuk bertuliskan ‘paralayang’ disertai tanda panah ke arah kanan.
Jalan aspal yang masih terus menanjak
tanpa bosan itu kutinggalkan, aku berbelok ke kanan menyusuri jalan berbatu
yang datar. Hanya sebentar jalan itu mendatar, tak berapa lama kemudian jalan
berbatu itu mulai menanjak dan jalanan yang kulalui semakin jelek dengan
kubangan lumpur di beberapa tempat. Kuikuti sajalah kemana jalan ini akan
membawaku.
Ketika aku mulai putus asa dengan jalan
berbatu dan becek ini, aku melihat beberapa mobil dan banyak motor terparkir di
depanku. Dan disitu pula aku menemukan spanduk bertuliskan ‘Paralayang
WatuGupit’. Lha kok namanya WatuGupit? Bukan Parangendog? Mungkin namanya sudah
diganti biar nggak bosan, pikirku waktu itu. Dan setelah berjalan kaki menanjak
beberapa puluh anak tangga, aku menemukan pemandangan indah ini, Pantai
Parangtritis yang terlihat sangat jauuuuh di bawah sana.
Sudah banyak orang disitu, duduk santai
diatas tanah berbatu, menikmati laut luas dan semilir angin. Beberapa bule
terlihat disana. Aku heran kenapa banyak bule bisa menemukan tempat terpencil
ini sedangkan aku yang bisa dibilang penduduk lokal baru tahu kalau ada tempat
sekeren ini disini.
Para bule itu terlihat asyik berfoto
dengan gaya kayang, handstand, dan berbagai gaya ekstrim lainnya, padahal
mereka berdiri di tanah yang miring, dan tidak ada pagar pengaman. Kalau sampai
ngegelinding, habislah sudah, tanah berada jauuuh di bawah sana. Aku saja tidak
berani berdiri jauh dari Zita, takut dia terpeleset dan terjun bebas ke bawah,
apalagi angin di atas sini lumayan kencang. Hiii syerem deh tapi asik bikin
deg-degan.
nih tanahnya miring dan berbatu, takut kalau Zita sampai terpeleset dan ngegelinding ke bawah, tidak ada pagar pengaman |
Pandanganku berkeliling mencari
puing-puing bangunan yang kulihat di internet, tempat orang duduk
berongkang-ongkang kaki di ketinggian, tapi ternyata nihil, aku tidak
menemukannya. Hanya tanah berbatu yang ada disekitarku. Dan sampai sekarangpun,
aku belum tahu apakah WatuGupit ini sama dengan Parangendog, atau ada tempat
lain dengan pemandangan sama, tempat dimana aku bisa duduk berongkang-ongkang
kaki sambil menikmati Pantai Parangtritis yang berada jauuuh di bawah sana.
Setelah aku kesini lagi untuk kedua kalinya, baru aku tahu kalau Parangendog itu tempat mendarat (landing) paralayang, sedangkan untuk take off dari Watu Gupit. Jadi yang ingin paralayang biasa mendaftar di Parangendog, baru kemudian diantar ke Watu Gupit untuk melakukan take off. Tidak setiap hari ada kegiatan paralayang disini karena kegiatan ini sangat ditentukan oleh keadaan angin. Angin yang baik untuk melakukan paralayang biasanya mulai bulan Desember (info dari petugas parkir) dan biaya paralayang sekitar 350 ribu.
Baca juga :
- Gondola Ekstrim di Pantai Timang, Gunung Kidul
- Wisata Jogja : Pesona Puncak Kebun Buah Mangunan
- Wisata Jogja : Naik Rakit ke Air Terjun Sri Getuk
- de Mata Trick Eye Museum Jogja
video
Update 24 Juli 2017Setelah aku kesini lagi untuk kedua kalinya, baru aku tahu kalau Parangendog itu tempat mendarat (landing) paralayang, sedangkan untuk take off dari Watu Gupit. Jadi yang ingin paralayang biasa mendaftar di Parangendog, baru kemudian diantar ke Watu Gupit untuk melakukan take off. Tidak setiap hari ada kegiatan paralayang disini karena kegiatan ini sangat ditentukan oleh keadaan angin. Angin yang baik untuk melakukan paralayang biasanya mulai bulan Desember (info dari petugas parkir) dan biaya paralayang sekitar 350 ribu.
Baca juga :
- Gondola Ekstrim di Pantai Timang, Gunung Kidul
- Wisata Jogja : Pesona Puncak Kebun Buah Mangunan
- Wisata Jogja : Naik Rakit ke Air Terjun Sri Getuk
- de Mata Trick Eye Museum Jogja
Masih belum sempat mampir ke sini..
BalasHapusTerima kasih infonya..
disempetin mampir, keren abis deh nih tempat ^_^
HapusKeren sekali informasinya, Terimakasih Gan
BalasHapusRental Mobil Jogja