Malam itu, satu jam
sebelum tengah malam, aku, Zita dan si ayah berkendara di tengah kegelapan
menuju Dieng. Rute kami adalah sebagai berikut, dari tengah kota Magelang jam
sebelas malam melaju ke arah Secang, kemudian belok kiri lewat Temanggung, lalu
melintasi Kepil yang berada di tengah Sindoro dan Sumbing, setelah sampai
Kertek belok kanan, menyusuri jalan sampai ke Alun-alun Wonosobo.
Rencana awal sebenarnya
kami ingin lewat jalur yang lebih dekat, yaitu lewat Parakan belok kanan ke
arah Ngadirejo (aku sering lewat sini kalau naik Santoso lewat Weleri). Ketika
ketemu perempatan Ngadirejo – Jumo belok kiri melewati perkebunan teh Tambi,
sampai akhirnya ketemu jalan raya Dieng.
Tadinya aku ingin lewat
jalur alternatif ini karena selain lebih dekat 15 km, juga karena ini adalah
musim libur Natal dan libur sekolah jadi takutnya terjadi kemacetan di jalur
utama. Tapi setelah tanya sana sini ternyata jalur alternatif ini lumayan
ekstrim kelokan dan tanjakannya, serta lebar jalannya sempit sehingga kalau
berpas-pasan dengan mobil lain lumayan bahaya karena banyak jurang yang tidak
terlihat.
Kalau siang sih jalannya
kelihatan tetapi kalau malam tidak terlihat, jalanan minim lampu penerangan,
jadi takutnya roda tergelincir ke jurang, atau mesin tidak kuat nanjak dan
tidak ada yang membantu karena jalur ini sepi akan rumah penduduk. Akhirnya
kami memutuskan pulangnya saja lewat jalur ini karena rencana kami pulang pada
siang hari, jadi jalannya bisa terlihat jelas.
Dan ternyata ketika pulang
lewat jalur alternatif Tambi ini, pemandangannya memang lebih indah dari jalur
utama, puncak Sindoro terlihat dekat dari sini, sepertinya hanya butuh waktu
beberapa jam trekking untuk bisa sampai puncak Sindoro. Sayangnya jalur ini
tidak dilewati kendaraan umum, sehingga para pendaki yang ingin ke puncak
Sindoro lebih banyak naik lewat Kepil yang banyak dilalui kendaraan umum (jadi
kangen masa SMA ketika aku sering naik ke puncak Sindoro Sumbing).
Ketika pulang siang hari
lewat jalur yang sepi ini, kami berpas-pasan dengan beberapa kendaraan yang
tidak kuat menanjak, mogok di jalan, dan sebagian besar kendaraan yang berpas-pasan
dengan kami berplat nomer B, mungkin mereka melewati jalur ini karena mengikuti
panduan GPS (kalau mencari jalur terdekat memang oleh GPS ditunjukkan lewat
jalur Tambi ini yang lebih ngirit 15 km).
Kembali
ke Jalur Utama
Kembali ke jalur utama,
yaitu jalur keberangkatan kami. Tiba di alun-alun Wonosobo, papan petunjuk
jalan ke arah Dieng sudah banyak bertebaran dan gampang ditemukan. Tidak begitu
jauh dari alun-alun Wonosobo, sampailah kami di pintu gerbang Kawasan Wisata
Dieng. Di pintu ini kami ditarik biaya Rp10.000,00 per orang. (Kalau lewat
jalur Tambi tidak akan melewati alun-alun Wonosobo dan gerbang utama ini).
Begitu memasuki kawasan
wisata Dieng, kami mengikuti papan petunjuk jalan ke arah Sikunir. Dieng
mempunyai banyak tempat wisata diantaranya kawasan lembah Dieng, kawasan
dataran tinggi Dieng, Dieng Plateau Theater, gardu pandang Setieng, Tuk Bima
Lukar, Kawah Sikidang, Telaga Warna, dan sebagainya. Karena tujuan pertama kami
adalah menikmati sunrise dari puncak Sikunir, maka kesanalah kami memacu kendaraan.
Rute
ke Sikunir
Dari gerbang utama, tempat
pertama yang kami temui adalah jalur trekking ke puncak Prau yang berada di
sebelah kanan jalan. Treking ke puncak Prau ini lebih melelahkan daripada ke
puncak Sikunir, berkali-kali lipat lebih jauh dan lebih sulit medannya. Karena
ada si kecil Zita yang belum berpengalaman naik gunung, maka kami lebih memilih
menikmati sunrise dari puncak Sikunir.
Ketika menemukan pertigaan
utama, kendaraan kami berbelok ke kiri, sedangkan untuk kendaraan umum (bus
ukuran tanggung yang banyak lewat sini) beloknya ke kanan. Jalan yang kami
lewati semakin menanjak dan udaranya semakin dingin. Pemandangan indah
terhampar di samping kanan kami, berupa kerlip lampu-lampu rumah yang terlihat
sangat jauh di bawah sana.
Setelah beberapa saat
berkendara, kami memasuki gerbang bertuliskan ‘Selamat Datang di Sembungan
Village, Desa Tertinggi di Pulau Jawa’. Begitu melewati gerbang ini, jalan
aspal semakin menyempit. Banyak tempat menginap berderet di kanan dan kiri
jalan, dan para penginap memarkir mobil mereka di pinggir jalan membuat jalan
yang sudah sempit menjadi semakin sempit.
“Dulu jalannya lumayan
lebar, sekarang jalan menjadi sempit karena banyaknya tempat menginap yang
berdiri di sepanjang jalan, membuat jalan tambah sempit” cerita temanku yang
beberapa tahun lalu pernah kesini.
Begitu kumpulan tempat
menginap kami lewati, jalan aspal yang kami lalui semakin menyempit lagi,
sepertinya hanya muat untuk satu mobil saja. Dan akhirnya, sampailah kami di
tempat parkir Sikunir yang luas, yang hanya berisi enam mobil saja pada jam dua
dini hari itu.
“Jalannya sempit amat mas,
muat nggak untuk dua mobil?” tanyaku pada si mas tukang parkir. “Disini pakai
sistem buka tutup mbak, sekarang yang dibuka untuk jalur ke atas dulu, nanti
kalau sunrise-nya sudah lewat, baru jalan ke bawah dibuka dan untuk yang keatas
ditutup dulu” jawab si mas memberi penjelasan sambil menarik ongkos parkir
sebesar Rp10.000,00 per mobil. Karena masih jam dua dini hari, akhirnya kami
tidur dahulu di dalam mobil.
Kami terbangun dua jam
kemudian yaitu ketika mendengar suara adzan Subuh. Ketika keluar dari mobil,
tempat parkir luas yang tadinya baru berisi enam mobil saja, kini sudah ada
seratusan mobil dan duapuluhan elf terparkir disini, dan mobil-mobil lain masih
terus berdatangan membanjiri tempat parkir yang sudah penuh sesak ini.
Jalur
Trekking ke Puncak Sikunir
Untuk dapat naik ke Puncak
Sikunir, kami ditarik biaya lagi sebesar Rp10.000,00 per orang. Kalau ditotal
sepertinya habis banyak nih karena di setiap titik wisata ditarik ongkos per
orang dan biaya parkir mobil. Belum lagi uang yang kami habiskan untuk ke
toilet, karena dinginnya udara disini, setiap satu jam kami harus masuk toilet
dengan biaya 2 ribu per orang. Waduh, untuk buang air saja sudah habis banyak
duit tuh.
Untuk yang mau naik ke
Puncak Sikunir, jangan lupa bawa senter ya, karena jalur trekkingnya gelap,
tidak ada lampu penerangan jalan. Bagi yang lupa bawa senter, di sepanjang
jalan trekking ada kok yang jualan senter. Selain penjaja senter, di sepanjang
jalan ini dipenuhi oleh penjaja makanan dan minuman untuk penghangat tubuh,
serta para penjual jaket, syal, topi, dan sarung tangan.
Pada awal jalur pendakian,
jalannya masih landai, rapi, ramai oleh penjual, dan terang oleh lampu jalanan.
Tetapi begitu tangga batu pertama terlihat, jalanan mulai gelap dan sepi oleh
penjual.
Jalur trekking terbuat
dari tangga batu yang tidak beraturan ukurannya, sebelah kanan tebing, dan
sebelah kiri jurang yang gelap. Aku dan Zita sempat terpisah sama si ayah di
tengah jalan, padahal si ayah lah yang membawa senter. Akhirnya aku
mengandalkan bantuan cahaya dari pendaki lain yang membawa senter. Ketika Zita
lelah, kami duduk beristirahat di tengah kegelapan, menantikan pendaki lain di
belakang kami yang membawa senter. Begitu ada pendaki lain yang lewat membawa
senter, kami ikut jalan lagi. Begitu seterusnya sampai satu jam lebih kami
berjalan naik dan naik, akhirnya sampailah kami pada saat yang berbahagia,
yaitu di puncak Sikunir.
Kami menantikan
detik-detik pertama sinar mentari mulai muncul di tengah dinginnya udara. Dan
ketika puncak ini mulai dikelilingi cahaya, barulah terlihat betapa penuh
sesaknya tempat ini, sampai-sampai mau jalan saja susah, apalagi foto selfie
cantik di atas awan. Hmm, sebaiknya jangan kesini di musim libur kalau ingin
foto selfie eksklusif.
Baca juga :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar