Sabtu, 10 Oktober 2015

Terowongan Menembus Tembok Bendungan Jatiluhur


Aku sering melemparkan pertanyaan ini kepada temanku : “Tahukah kamu dimana letak bendungan Ir. H. Juanda?” Dan mereka selalu menjawab “tidak tahu”. Tetapi apabila pertanyaan aku ganti menjadi : “Tahukah kamu dimana letak bendungan atau waduk Jatiluhur?” Dengan cepat mereka menjawab “Purwakarta”.

Di suatu waktu di bulan februari 2012, sebuah motor supra x ikut berhimpitan di padatnya lalu lintas jalan raya Bogor – Jakarta. Si ayah yang bertubuh gempal duduk paling depan. Aku yang juga tidak bisa dibilang langsing, berada di belakang sendiri. Sedangkan Zita yang berumur tiga tahun, tergencet di tengah diantara ayah bundanya. Kami bertiga berdesakan melaju menuju waduk Jatiluhur di Purwakarta.

Dulu ketika aku masih SD, aku sering mengunjungi kakekku yang bernama Musahil, yang tinggal di lingkungan waduk Jatiluhur. Mbah Sahil ini adalah lulusan ITB tahun 60-an. Keren kan? Dan beliau mempunyai jabatan penting dalam mengelola waduk Jatiluhur. Aku pernah diajak mbah Sahil, memasuki lorong yang tidak bisa dimasuki oleh sembarang orang, selain pejabat-pejabat yang berwenang. Lorong atau terowongan panjang itu menembus tembok bendungan, menuju pusat waduk yang berada di bawah air. Sepanjang perjalanan aku ngeri membayangkan apabila terowongan ini sampai jebol, pasti air berlimpah ruah langsung membanjir masuk.
aku semasa SD bersama ibu & dua adikku di mulut terowongan bendungan Jatiluhur

Dulu sih aku selalu diantar orang tuaku naik mobil kalau ingin mengunjungi mbah Sahil. Masuk jalan tol dari Jakarta dan keluar di pintu tol Sadang, dalam waktu satu jam, jarak Jakarta – Purwakarta dengan cepat kami lalui. Tetapi sekarang, hanya supra x ini yang kami punya, tidak ada mobil yang bisa menaungi kami dari teriknya matahari.

“Ntar kita lewat Bekasi saja. Palingan dua jam juga sudah nyampe” kata si ayah pede sok tau. Aku mengangguk-angguk saja seperti orang-orangan sawah. Tetapi setelah lebih dari satu jam kami berputar-putar di daerah Bekasi, “kayaknya tadi kita sudah lewat sini deh yah” kataku bingung sambil mengamati rumah besar berwarna biru yang aku yakin sudah aku lihat beberapa puluh menit yang lalu. “Masak sih?” tanya si ayah ikutan bingung. Sayang waktu itu android yang ber-GPS belum ngetren, sehingga dengan suksesnya kami tersesat di seluk beluk jalanan tikus Bekasi. Tol Jakarta – Purwakarta berada tepat di bawah kami. Coba seandainya motor boleh masuk tol itu, kami tidak akan tersangkut dalam jaring keruwetan jalanan Bekasi ini.

Singkat cerita, setelah lima jam kami habiskan untuk berputar-putar mencari jalan, akhirnya tulisan ‘Selamat Datang di Purwakarta’ terbaca oleh sudut mataku yang langsung membulat. Zita sudah kehabisan gaya dari duduk tergencet di tengah, duduk di pangkuanku, sampai duduk di stang motor pun sudah dia rasakan. Pantatku juga sudah mulai kram.

“Kita sudah sampai Purwakarta nih. Dimana rumah kakekmu?” tanya si ayah yang wajahnya sudah kusut berkerut-kerut seperti jeruk purut. “Aku tahunya kalau dari tol Sadang” jawabku ikut berkerut-kerut seperti ikan cucut. Sudah bertahun-tahun aku tidak mengunjungi kota ini, banyak jalan yang tadinya tidak ada, sekarang menjadi ada, membuatku bingung harus memilih jalan yang mana. Sepanjang jalan yang tadinya berupa hutan berpohon jarang, sekarang sudah berubah menjadi beraneka ragam bangunan. Dengan tersendat-sendat akhirnya kami sampai di pintu masuk kawasan waduk Jatiluhur. Rumah mbah Sahil berbelok ke kanan sebelum gerbang loket waduk itu, hanya beberapa puluh meter dari loket masuk waduk Jatiluhur.

 Jam dua siang. Padahal tadi kami berangkat dari Bogor jam delapan pagi. Kalau naik kereta sudah hampir sampai Jogja nih. Kami bertiga langsung tergeletak tepar di atas tempat tidur yang sudah dipersiapkan.
pemandangan waduk Jatiluhur

Hari berikutnya, ketika matahari sudah menjemput pagi, kami mulai menjelajah bendungan. Hal pertama yang ingin dilihat oleh si ayah adalah terowongan dibawah bendungan, yang sering aku banggakan pada si ayah bahwa aku pernah memasukinya hingga ke ujung. Sayang sekarang di usianya yang ke-74, mbah Sahil sudah pensiun dari jabatannya sebagai salah satu petinggi di waduk ini, sehingga beliau sudah tidak dapat mengantar kami ke terowongan. Tanpa ada orang yang kami kenal, akhirnya kami hanya bisa berfoto dari kejauhan, tanpa bisa mendekat ke mulut terowongan.
mulut terowongan di kejauhan, menembus tembok bendungan menuju pusat air di bawah sumur
Pintu gerbang menuju sumur bendungan pun sekarang sudah tidak dapat dilewati oleh sembarang orang. Kami harus mengisi formulir terlebih dahulu, memperlihatkan kartu identitas, dan akhirnya setelah mengurus ini dan itu, kami berhasil melewati gerbang menuju sumur berbentuk lingkaran raksasa. Yey.
waduk Ir. H. Djuanda yang lebih dikenal dengan nama waduk Jatiluhur
Kami berjalan diatas tembok bendungan yang menjulang tinggi. Pemandangan dari atas terlihat indah sekali. Dulu aku biasa melewati jalan ini menggunakan mobil. Tetapi sekarang, bahkan sepeda motor pun dilarang masuk, sehingga kami terpaksa berjalan jauh menuju sumur raksasa. Untuk dapat melongok ke dalam sumur pun, kami harus minta ijin pada petugas penjaga pintu jembatan supaya dia mau membukakan pintu untuk kami.
pemandangan dari atas tembok bendungan
Akhirnya kami berjalan perlahan, diatas jembatan kecil menuju mulut sumur. Dengan berdebar kami menyeberang. Dibawah kami, air meluap mengerikan. Dan di mulut sumur pun, pemandangan ke bawah tidak kalah menakutkan. Lubang raksasa menganga di depan kami.
melewati jembatan menuju sumur raksasa
di atas mulut sumur raksasa yang melingkar lebar. air mengalir deras masuk ke dasar sumur
sumur raksasa terlihat dari kejauhan
sumur raksasa di kejauhan, perahu tidak bisa terlalu mendekat, karena bisa ikut tersedot masuk ke dalam sumur
Keluar dari bangunan bendungan, kami berkeliling ke rumah penduduk di sekitar situ. Meskipun hari cerah dan terang, banyak kulihat lampu-lampu di teras rumah tetap menyala. Sepertinya mereka mendapat pasokan listrik berlimpah dan gratis dari PLTA Jatiluhur.

 Selain bangunan bendungan, hal menarik lain yang bisa kita kunjungi disini adalah tambak ikan. Dengan menumpang perahu, kita dapat berkeliling disela-sela rumah penduduk yang mengapung di air, disebelah tambak-tambak ikan mereka.
latar belakang rumah apung penduduk di atas air

Lihat foto lainnya di fb : Tyas Susilaning

6 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  3. wahh ternyata pemandangan waduk jatiluhur dari atas memang indah sekali ya..

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  6. mainkan game kesayangan kamu di donacopoker dan dapatkan bonus 2x setiap harinya dan ada yang menarik dari donacopoker di tahun baru nanti donacopoker akan memberikan bonus deposit sebesar 50.000 tunggu apalagi jangan samapai kehabisan
    Agen poker online
    Agen poker online
    Judi Kartu Online
    bandar qq donacopoker
    jadi tunggu apalagi hubungi kontak di bawah ini agar kamu tidak penasaran lagi
    BBM : DC31E2B0
    LINE : Donaco.poker
    WHATSAPP : +6281333555662

    BalasHapus